Sabtu, 16 Mei 2009

ADA SEKOLAH INKLUSIF DAN TIDAK INKLUSIF Merangkul Perbedaan dalam Mewujudkan Lingkungan Ramah terhadap Pembelajaran


Oleh. Drs Tarmansyah, Sp.Th, M.Pd

Pendidikan inklusif adalah falsafah dalam perubahan paradigma pendidikan yaitu dengan melibatkan semua anak untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah. Berdasarkan kesepakatan internasional, bahwa semua sekolah dapat menerima semua anak tanpa diskriminasi. Indonesia telah meratifikasa dan mendeklarasikan hal tersebut di Bandung pada loka karya Nasional yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2004, Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Falsafah pendidikan inklusif mengacu kepada semua anak mempunyai hak untuk belajar dan semua anak dapat belajar : “ Tanpa memandang kondisi fisik, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya : anak penyandaang kecacatan dan berbakat, anak jalanan dan pekerja, anak dari populasi terpisah atau nomadik, anak dari minoritas linguistik, etnis atau budaya dan anak dari area atau kelompok kurang beruntung atau termajinalisasi “ UNESCO, Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, 1994, p.6.

Kompendium : Perjanjian, Hukum dan Peraturan Manjamin Semua Anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk Kualitas Pendidikan dalam seting Inklusif, yang dikembangkan oleh Braillo Norway dan IDP Norway atas nama UNESCO Jakarta dan PLAN Indonesia.

Konvensi Hak Anak, PBB. Hak Setiap Anak : Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan; Untuk memiliki keluarga yang menyayangi dan mengasihi; Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai dan lingkungan yang sehat; Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan aktif; Untuk mendapat pendidikan yang baik dan mengembangkan potensinya; Untuk diberikan kesempatan bermain waktu santai; Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksploitasi, penyiasiaan, kekerasan dan dari mara bahaya; Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerinrtah; Agar bias mengekspresikan pendapat sendiri.

Pasal 2 : Non-diskriminasi : Semua hak-hak berlaku bagi semua anak tanpa pengecualian. Ini merupakan kewajiban negara untuk melindungi anak dari bentuk diskriminasi apapun dan untuk mengambil tindakan positif untuk mempromosikan hak-hak mereka. Pasal 12 : Pendapat anak : Anak mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas dan untuk pendapatnya tersebut dipertimbangan dalam hal-hal atau prosedur yang mempengruhi anak. Pasal 13 : Anak mempunyai hak untuk mengungkapkan pandangannya, memperoleh informasi, membuat ide-ide atau informasi yang diketahua tanpa batasan. Pasal 23 : Seorang anak cacat mempunyai hak atas perawatan, pendidikan dan pelatihan khusus untuk membantunya menikmati kehidupan yang penuh dan layak dengan martabat dan memperoleh tingkat terbesar atas kepercayaan diri dan kemungkinan integrasi sosial. Pasal 28 : Anak mempunyai hak atas pendidikan dan tugas negara adalah untuk menjamin bahwa pendidikan dasar adalah bebas biaya dan wajib, untuk mendorong brntuk-bentuk berbeda dari pendidikan menengah yan aksesibel bagi setiap anak dan untuk membuat pendidikan tinggi tersedia bagi semua menurut dasar kapasitasnya. Mata pelajaran sekolah harus konsisten dengan hak-hak dan martabat anak. Negara mengikutsertakan kerjasama internasional untuk melaksanakan hak ini.

Semua anak di Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan, hal ini telah kita fahami bersama seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pasal 31: (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sitem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurngnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Berdasarkan ketentuan peraturan dan perundang-undangan, maka tidak ada lagi alasan untuk melakukan diskriminasi, baik terhadap sekolah maupun terhadap anak dan guru yang terlibat dalam seting pendidikan inklusif.

Sering kita dengar di lapangan ada label “sekolah inklusif”, “anak inklusi”, atau kepada guru pembimbing khusus dengan sebutan “guru inklusi”. Jadi masih adanya labelisasi dalam sekolah dengan seting inklusi, sehingga nampaknya masih ekslusif. Seperti di bagian depan dijelaskan bahwa inklusi adalah falsafah atau konsep dalam pendidikan yang melibatkan semua anak (education for all).

Memang untuk menghadapi suatu perubahan memerlukan waktu yang cukup panjang. Dengan adanya perubahan dalam paradigma pendidikan menuju inklusi, tidak serta merta dapat diterima oleh semua pihak, ada yang menerima perubahan dengan positif, ada pula yang menilai perubahan sebagai ancaman.

Ada pandangan sementara masyarakat, bahwa dengan dikembang luaskannya pendidikan seting inklusi, maka keberadaan SLB akan kehilangan peranannya sebagai suatu lembaga pendidikan. Sesunguhnya dengan dikembangkanya paradigma pendidikan untuk semua, peran SLB menjadi lebih luas dan spesifik, yaitu menjadi pusat sumber bagi sekolah-sekolah reguler yang ada disekitarnya. Secara operasional SLB berfungsi sebagai pusat asesmen bagi anak berkebutuhan khusus, kesulitan belajar, penyimpangan perilaku dan pendidikan usia dini bagi anak berkebutuhan khusus.

Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan ,menyebutkan bahwa SDLB, SMPLB, SMALB, masih tercantum di dalamnya dan keberadaanya setara dengan standarisasi jenjang pendidikan reguler.

Sebagai informasi di negara-negara yang sudah maju seperti Norwegia, Jepang, Singapura, sekolah khusus atau SLB masih sangat berperan dalam mengembangkan pendidikan untuk semua.

Kembali kepada topik permasalahan di atas, bagaimana kita harus mengantisipasi kondisi tersebut ? Sebenarnya kurang tepat apabila kita memberikan label “sekolah inklusi, guru inklusi atau anak inklusi”. Hal ini dikhawatiran timbul istilah baru yaitu; SD Inklusi, SMP Inkusi, SMA Inklusi, padahal seharusnya tidak demikian.

Mengapa hal tersebut diangkat ke permukaan ? Pasalnya, kewajiban yang tercantum dalam salah satu pasal PP. No 19 Tahun 2005, yaitu Pasal 59, yang mengamanatkan “wajib belajar” merupakan prioritas utama program pemerintah daerah. Saat ini wajib belajar telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah, maka semua anak akan terjaring wajib belajar, termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus atau anak yang termarjinalisasi dimanapun mereka berada. Mereka bukan “anak inklusi”, mereka adalah anak bangsa yang mempunyai hak sama seperti halnya hak bagi semua anak. Konsekwensinya permerintah daerah harus menyediakan “guru pembimbing khusus”/ bukan guru inklusi.

Bagaimana upaya sekolah untuk mengantisipasi pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, dimana semua anak harus diterima di sekolah-sekolah terdekat ?.

Dalam upaya mewujudkan percepatan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun untuk semua anak (education for all). Semua anak harus diterima di sekolah terdekat dimana anak tersebut berada, termasuk anak-anak yang termajinalisasi atau berkebutuhan khusus. Bagaimana sekolah mempersiapkan program tersbut ?

Strategi pengembangan lingkungan sekolah untuk semua yang ramah terhadap pembelajaran, dalam mewujudkan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mewujud strategi tersebut :

Mengembangkan pemahaman yang jelas tentang implementasi pendidikan untuk semua : Mengembangkan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan semua siswa. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pada serangkaian prinsip yang dinyatakan secara jelas, mengacu kepada visi, misi dan tujuan yang dirumuskan secara bersama oleh warga sekolah.

Melakukan identifikasi terhadap semua sumber daya manusia yang ada, dan pembiayaan yang dibutuhkan. Membangun kemitraan dengan semua stakeholder yang terkait, dalam mendukung terwujudnya lingkungan sekolah untuk semua yang ramah terhadap pembelajaran.

Inisiatif untuk merancang strategi dalam mengelola perubahan dimulai dari sekolah masing-masing, karena setiap sekolah mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain: Dimulai dengan apapun yang tersedia di sekolah dan mendukung program strategi perubahan yang akan dilakukan. Menampung berbagai pendapat dari berbagai fihak yang terkait, guru, orang tua, komite, masyarakat, instansi/lembaga terkait yang ada dilingkungan sekolah.

Selanjutnya warga sekolah melakukan analisis situasional sekolah, atau evaluasi diri untuk menganalisis aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam melakukan rencana perubahan. Pimpinan sekolah membangun hubungan pendukung dengan sumber yang ada dan para akhli dari berbagi institusi/lembaga.

Memang diperlukan pedoman dan kebijakan yang jelas dari pemerintah pusat maupun daerah: Mengadakan diskusi atau rapat kerja mengenai pendidikan untuk semua (inklusi) untuk membangun konsensus dengan pihak birokrat pengambil keputusan. Prinsip-prinsip inklusi yang ada perlu diinterpretasikan dalam konteks masing-masing daerah. Inkusi sulit untuk distandarisasi, dengan demikian pelaksanaanya akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan antara satu sekolah dengan sekolah lain bisa saja berbeda, tergantung komitmen yang dibangun di masing-masing daerah atau sekolah.

Melibatkan semua sumber daya warga sekolah untuk bekerja dalam formulasi kebijakan yang telah dirumuskan bersama : Melibatkan semua anak merumuskan kebijakan, perencanaan dan perkembangan program. Diharapkan untuk melibatkan berbagai akhli dalam berbagai spesialisasi (ortopedagog, konselor, psikolog, terapis). Merumuskan kebijakan yang pleksibel untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan semua anak.

Tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan. Adanya alur struktur yang jelas dan koordinasi yang sinergis antara dinas pendidikan propinsi dan dinas pendidikan kota atau kabupaten. Inklusi juga harus dicerminkan oleh kinerja personal manajemen birokrasi, yaitu pelayanan manajerial yang ramah dan menyenangkan bagi semua pihak, berkolaborasi dalam kesetaraan dan kesamaan visi, misi serta tujuan.

Kemitraan harus dipupuk sehingga menjadi bermakna: Kemitraan difokuskan kepada orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka. Bahwa pendidikan merupakan hak yang mendasar bagi semua anak. Mendukung formasi kemitraan antara sekolah, komite sekolah, alim ulama, ninik mamak, LSM dan kelompok profesional serta akademisi.

Secara berkesinambungan para pejabat pemerintah meningkatkan pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan dalam perkembangan pendidikan untuk semua, baik perkembangan di tingkat regional, nasional, maupun internasional.

Melakukan survey internal : Melaksanakan survey yang komprehensif secara periodik untuk mengidentifikasi semua anak baik yang berada di sekolah maupun yang lebih luas, tingkat kota/kabupaten atau tingkat propinsi, untuk memberikan database yang diperlukan. Dalam hal ini harus melibatkan personal yang profesional dan terlatih.

Membangun kesadaran dan menciptakan sikap positif terhadap pendidikan untuk semua: Kampanye penyadaran tentang hak anak harus terus menerus dilakukan. Melaksanakan program penyadaran dengan partisipasi aktif dari semua fihak, termesuk mereka yang membutuhkan layanan pendidikan khusus.

Mengawali perubahan menuju pendidikan untuk semua dengan mobilisasi opini, membangun konsensus diantara masyarakat umum melalui seminar, lokakarya dan proyeksi. Memanfatkan media cetak dan elektronik untuk mempersiapkan persepsi masyarakat yang pro-aktif, termasuk para orangua.

Menata ulang fungsi SLB : Mendesain ulang semua sekolah luar biasa atau praktek-praktek layanan pendidikan kebutuhan khusus, dengan tujuan mendukung pendidikan untuk semua (pendidikan inklusif)

Membuat kurikulum pendukung dan bahan ajar untuk semua anak : Rencanakan untuk mengakomodasi berbagai cakupan gaya belajar anak. Mempersiapkan system yang responsife dan menerima keragaman. Kurikulum fleksibel memenuhi kebutuhan belajar kepada semua anak.

Melaksanakan pelatihan untuk guru : Mendesain ulang pelatihan guru, untuk beberapa guru regular pada level pra-servic dan in-service. Mengalihkan peranan guru PLB menjadi guru sumber atau konsultan utuk semua anak di sekolah. Membentuk tim pendukung guru pada setiap sekolah untuk menyediakan dukungan di tempat.

Mendorong partisipasi orangtua dalam proses pembelajaran : Organisasi orangtua perlu dibentuk dengan hubungan terstuktur dengan para professional. Orangtua perlu dilatih dalam perkembangan dan evaluasi program anak sedini mungkin untuk anak mereka sendiri.

Simpulan, bahwa inklusi merupakan falsafah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk mengikuti pendidikan pada semua jenjang. Tidak ada istilah sekolah inklusi, guru inklusi, tetapi yang ada adalah lingkungan sekolah yang ramah dalam pembelajaran, dan guru yang ramah dalam pembelajaran. Adapun institusinya atau sekolahnya, maupun gurunya tidak mengalami perubahan nama atau label, yang berubah adalah cara pandang warga sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan, dan cara pandang guru terhadap pembalajaran.

.

Penulis naskah,

Drs. Tarmansyah,Sp.Th, M.Pd

Dosen:Jurusan PLB FIP UNP Padang

Komp. PLB. Jl. Limau Manis Kec. Pauh Padang 25164

Tlp. (075) 791422/791425 /081267806150



Tidak ada komentar: